By : Onen Saranjana
Suatu hari selepas pulang dari bekerja, ketika berhenti dipertigaan lampu merah, saya mengambil tempat didepan sebuah mobil yang juga berheti dilampu merah tersebut. Tidak berapa lama kemudian ada sebuah motor yang menyalip saya dari kiri, dan berhenti tepat didepan motor saya agak kesebelah kiri. Bapak yang memakai peci haji ini dengan enaknya berhenti digaris “zebra cross”, dan melewati garis batas pembagi kiri-kanan jalan, yang ditandai dengan garis putih. Pikir saya bapak ini sudah merampas hak orang lain, untuk pengendara lain yang ingin mengambil jalur lurus dan para pejalan kaki yang ingi menyeberang. “Akh..sudahlah pikir saya”, yang penting saya sudah berada dijalur yang semestinya. Lewat beberapa hitungan detik, adalagi anak muda yang berhenti tepat disamping kiri bapak tadi, “saya pikir tambah tertutup ini jalan”. Waktu itu lalulintas dijalan memang agak sepi, melihat ada kesempatan untuk membelok, anak muda ini tancap gas belok kanan, meskipun lampu masih menyala merah. Sayangnya, melihat anak muda ini membelok, bapak yang pakai peci tadi lagi-lagi dengan santainya ikut-ikutan belok kanan.
Kejadian seperti ini menjadi pemandangan saya setiap hari dikota Banjarmasin, baik itu mau berangkat maupun pulang kerja, karena dipertigaan dan perempatan lampu merah yang setiap hari saya lewati, memang tidak ada polisi lalulintasnya. Entah kenapa para pengendara lebih takut membuat pelanggaran di lampu merah yang ada pos polisinya saja. Mereka lebih takut kepada polisi daripada peraturan dengan tidak mempertimbangkan keselamatan nyawa mereka sendiri. Atau boleh jadi masyarakat kota ini sudah terjangkit syndrome buta warna. Read the rest of this entry »